Perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas kota termasuk didalamnya pembangunan kota, ruang publik khususnya ruang terbuka hijau menjadi pilihan terakhir untuk ditangani, karena ruang ini dianggap tidak memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi sebuah kota. Oleh karena itu, penggunaan ruang yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka pemanfaatannya akan selalu berada pada posisi yang paling optimal, artinya kebutuhan-kebutuhan ruang yang sifatnya non ekonomis/publik masih dinomorduakan.
Pada hampir di seluruh kota, kepentingan hunian dan usaha menjadi prioritas utama, apalagi tingkat kebutuhan lahan untuk membangun bangunan/gedung makin lama makin meningkat. Kondisi tersebut memaksa ruang/lahan yang ada setiap jengkalnya menjadi sangat berarti dan diupayaka seefisien mungkin.
Menurut Sihite dan Ismaun (1996), disebutkan bahwa ruang terbuka hijau dalam tata ruang kota termasuk dalam kategori pelengkap, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dianggap kurang penting. Konsep pembangunan RTH yang dilaksanakan di Indonesia belum mengarah pada konsep “Park System” dan terstruktur pada suatu sistem tertentu (baru sebagian kecil kota besar di Indonesia menerapkannya), hal ini dikarenakan keterbatasan sumberdaya manusia (secara umum RTH kota-kota di Indoensia dikelola oleh pemerintah daerah setempat), tehnologi, sosial dan ekonomi.
Dampak negatif dari penanganan RTH yang tidak serius berakibat berkurangnya luasan RTH (perebutan berbagai kepentingan), jumlah luasan tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas. Akibat langsung yang dirasakan adalah :
- Menurunnya tingkat kenyamanan kota,
- Meningkatnya pencemaran udara, suara dan air,
- Menurunnya ketersediaan air tanah, karena berkurangnya daerah-daerah resapan,
- Menurunya kapasitas dan daya duku wilayah,
- Meningkatnya masalah kesehatan (pencemaran udara dan air),
- Menurunnya keindahan kota, karena ketiadaan taman/pohon-pohonan.
Penanganan RTH di Indonesia masih ditangani multisektoral, sehingga sangat mungkin terjadi tumpang-tindih penanganan, belum lagi masalah tanggungjawab atau berebut tanggungjawab, hal ini justru memperparah kondisi yang ada. Belum lagi lemahnya penanganan RTH karena belum ada aturan yang jelas yang mengatur tentang RTH secara tersendiri, penegakan aturan yang lemah (seperti perebutan daerah bantaran/sempadan sungai sebagai daerah hunian), manajemen pengelolaan RTH serta kepastian hukum atas lahan RTH.
Permasalahan lain tentang penanganan RTH di kota-kota, adalah nilai ekonomis lahan RTH, artinya apabila RTH terletak pada lahan yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi akan menjadi incaran banyak pihak (pelaku ekonomi), selanjutnya mudahnya alihfungsi lahan RTH, keterbatasan lahan yang diperuntukkan sebagai RTH, belum optimalnya pemanfaatan lahan RTH serta lemahnya peranserta masyarakat, dan keterbatasan pemerintah. Memperhatikan hal tersebut, kiranya sudah saatnya dibuat aturan main yang jelas tentang penanganan RTH, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasannya diatur dalam sebuah sistem dan mekanisme tertentu, sehingga dapat mempertahankan, meningkatkan keberadaan, dan menaikkan status ekonomi RTH (bisa sebagai taman kota yang memberi kontribusi kepada pemerintah setempat).
Tentang penulis :
- Salahsatu anggota pengkaji kebijakan pemerintah pada Pemerintah Daerah Kota Parepare tahun 2007.
- Pemerhati masalah perencanaan dan pengembangan perkotaan.
Sumber bacaan :
- Bintang A. Nugroho, Ir, 1997, “Agenda Penataan Ruang Terbuka Hijau di Indonesia”.
- Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan, Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan, IPB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar