Sabtu, Februari 21, 2009
Isu Pokok Ruang Terbuka Hijau
Penurunan kualitas lingkungan menyebabkan penurunan tingkat produktifias masyarakat, menurunkan tingkat kesehatan dan angka harapan hidup masyarakat, bahkan dapat menyebabkan kelainan genetik dan penurunan tingkat kecerdasan anak-anak. Selain itu, perubahan perilaku masyarakat akibat kurangnya ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan yang dialami oleh masyarakat perkotaan.
Isu tentang kurangnya penyelenggaraan "Ruang Terbuka Hijau (RTH)" di perkotaan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif, mendorong terjadinya penurunan kualitas lingkungan. Kurang proporsionalnya ketersediaan RTH menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan dapat menghilangkan nilai-nilai budaya lokal.
Isu penting lainnya adalah lemahnya kelembagaan dan sumberdaya manusia (terkait dengan manajemen RTH), kureangnya keterlibatan stakeholder dalam penyelenggaraan RTH. Lemahnya kelembagaan ini disebabkan belum adanya aturan dan pedoman yang jelas tentang penyelenggaraan RTH. RTH masih dianggap sebagai suatu yang belum penting/marginal. Pelibatan staholder dan SDM, diharapkan mampu menggalang partisipasi atas penyelenggaraan RTH. Masalah pembiayaan yang menjadi hambatan bagi pemerintah/pemda dapat diatasi bersama.
Ketersediaan lahan di perkotaan semakin lama semakin terbatas, tetapi ada lahan di perkotaan yang dibiarkan terlantar dan kurang dimanfaatkan. Sementara itu, kondisi RTH yang ada diperkotaan kurang terawat dan tidak dikelola secara optimal.
Perebutan penggunaan ruang, khususnya pada jalur pedestrian sebagai tempat untuk penghijauan jalan, seringkali memicu konflik kepentingan. Fungsi jalur pedestrian seringkali dinomorduakan, pemanfaatan pedestrian jauh dari fungsi utamanya.
Permasalahan dan isu penting tentang penyelenggaraan RTH perlu dicermati untuk mencari pemecahan yang komprehensif, dengan pendekatan yang holistik maka penyelenggaraan RTH perkotaan akan dapat dijalankan sesuai dengan maksud dan tujuannya.
Kamis, Februari 12, 2009
Ruang Terbuka Hijau Perkotaan
Perkembangan jumlah penduduk dan aktivitas kota termasuk didalamnya pembangunan kota, ruang publik khususnya ruang terbuka hijau menjadi pilihan terakhir untuk ditangani, karena ruang ini dianggap tidak memberikan kontribusi yang cukup berarti bagi sebuah kota. Oleh karena itu, penggunaan ruang yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, maka pemanfaatannya akan selalu berada pada posisi yang paling optimal, artinya kebutuhan-kebutuhan ruang yang sifatnya non ekonomis/publik masih dinomorduakan.
Pada hampir di seluruh kota, kepentingan hunian dan usaha menjadi prioritas utama, apalagi tingkat kebutuhan lahan untuk membangun bangunan/gedung makin lama makin meningkat. Kondisi tersebut memaksa ruang/lahan yang ada setiap jengkalnya menjadi sangat berarti dan diupayaka seefisien mungkin.
Menurut Sihite dan Ismaun (1996), disebutkan bahwa ruang terbuka hijau dalam tata ruang kota termasuk dalam kategori pelengkap, sehingga fungsi Ruang Terbuka Hijau (RTH) dianggap kurang penting. Konsep pembangunan RTH yang dilaksanakan di Indonesia belum mengarah pada konsep “Park System” dan terstruktur pada suatu sistem tertentu (baru sebagian kecil kota besar di Indonesia menerapkannya), hal ini dikarenakan keterbatasan sumberdaya manusia (secara umum RTH kota-kota di Indoensia dikelola oleh pemerintah daerah setempat), tehnologi, sosial dan ekonomi.
Dampak negatif dari penanganan RTH yang tidak serius berakibat berkurangnya luasan RTH (perebutan berbagai kepentingan), jumlah luasan tidak memenuhi persyaratan jumlah dan kualitas. Akibat langsung yang dirasakan adalah :
- Menurunnya tingkat kenyamanan kota,
- Meningkatnya pencemaran udara, suara dan air,
- Menurunnya ketersediaan air tanah, karena berkurangnya daerah-daerah resapan,
- Menurunya kapasitas dan daya duku wilayah,
- Meningkatnya masalah kesehatan (pencemaran udara dan air),
- Menurunnya keindahan kota, karena ketiadaan taman/pohon-pohonan.
Penanganan RTH di Indonesia masih ditangani multisektoral, sehingga sangat mungkin terjadi tumpang-tindih penanganan, belum lagi masalah tanggungjawab atau berebut tanggungjawab, hal ini justru memperparah kondisi yang ada. Belum lagi lemahnya penanganan RTH karena belum ada aturan yang jelas yang mengatur tentang RTH secara tersendiri, penegakan aturan yang lemah (seperti perebutan daerah bantaran/sempadan sungai sebagai daerah hunian), manajemen pengelolaan RTH serta kepastian hukum atas lahan RTH.
Permasalahan lain tentang penanganan RTH di kota-kota, adalah nilai ekonomis lahan RTH, artinya apabila RTH terletak pada lahan yang mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi akan menjadi incaran banyak pihak (pelaku ekonomi), selanjutnya mudahnya alihfungsi lahan RTH, keterbatasan lahan yang diperuntukkan sebagai RTH, belum optimalnya pemanfaatan lahan RTH serta lemahnya peranserta masyarakat, dan keterbatasan pemerintah. Memperhatikan hal tersebut, kiranya sudah saatnya dibuat aturan main yang jelas tentang penanganan RTH, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengendalian dan pengawasannya diatur dalam sebuah sistem dan mekanisme tertentu, sehingga dapat mempertahankan, meningkatkan keberadaan, dan menaikkan status ekonomi RTH (bisa sebagai taman kota yang memberi kontribusi kepada pemerintah setempat).
Tentang penulis :
- Salahsatu anggota pengkaji kebijakan pemerintah pada Pemerintah Daerah Kota Parepare tahun 2007.
- Pemerhati masalah perencanaan dan pengembangan perkotaan.
Sumber bacaan :
- Bintang A. Nugroho, Ir, 1997, “Agenda Penataan Ruang Terbuka Hijau di Indonesia”.
- Ruang Terbuka Hijau Wilayah Perkotaan, Makalah Lokakarya Pengembangan Sistem RTH di Perkotaan, IPB.
Minggu, Februari 08, 2009
Pentingnya Instrumen Manajerial Dalam Pengelolaan Lingkungan Perkotaan
Isu Penting Prasarana Dasar Lingkungan
Masalah lingkungan saat sekarang ini, telah menjadi perhatian semua pihak. Isu-isu tentang pemanasan global telah menghantui semua orang, apalagi jika melihat dampak yang ditimbulkannya. Pertanyaannya sekarang adalah, seberapa banyak orang / masyarakat kita yang benar-benar peduli terhadap masalah lingkungan. Memperhatikan pendapat Bartone (Nurmandi Achmad, 1999, “Manajemen Perkotaan”, p.238) yang didapatkan dari hasil pengumpulan data, disebutkan bahwa semakin tinggi pendapatannya masyarakat maka semakin tinggi pula kesadarannya akan lingkungan, dan begitu pula sebaliknya.
Pada kelompok masyarakat yang tinggi pendapatannya biasanya akan mudah memperoleh akses prasarana dasar lingkungan yang lebih baik, seperti pelayanan air bersih, sanitasi, draimase dan pelayanan persampahan. Sebaliknya pada kelompok masyarakat dengan tingkat pendapatan yang rendah, kemudahan untuk memperoleh fasiltas prasarana dasar lingkungan semakin sulit. Pada kelompok-kelompok masyarakat miskin, prasarana dasar lingkungan bukan menjadi pilihan utama, namun kebutuhan dasar akan makan dan papan merupakan kebutuhan pokok yang harus dipenuhi. Oleh karena itu, pada masyarakat miskin kondisi lingungannya sangat memprihatinkan. Hidup seadanya dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk. Sehingga pada kelompok ini rentan terkena penyakit, seperti penyakit-penyakit yang ditimbulkan karena kondisi sanitasi yang buruk, diare, kolera, disentri, penyakit kulit, TBC dan sejenisnya.
Oleh karena itu, fokus perhatian pemerintah selaku penyelenggara pembangunan, utamanya dalam penyediaan prasarana dasar lingkungan lebih fokus pada lingkungan masyarakat yang berpenghasilan rendah. Ini bukan berarti untuk masyarakat berpenghasilan tinggi tidak diperhatikan. Tetapi pada pelaksanaannya, pemerintah belem sepenuhnya mampu memenuhi kebutuhan prasarana dasar ini. Fasilitas sanitasi dan air limbah merupakan kewajiban pemerintah untuk menyediakannya. Kondisi sanitasi yang buruk, akan mengkontaminasi sumber air yang digunakan oleh masyarakat sebagai air bersih, dengan terkontaminasinya sumber air maka akan mendorong tumbuhnya penyakit-penyakit seperti yang telah disebutkan diatas.
Selanjutnya masalah persampahan, pada beberapa kota masalah persampahan menjadi permasalahan yang sangat pelik. Seperti kita ketahui bersama beberapa waktu lalu, Pemerintah Kota Bandung disibukkan dengan menumpuknya sampah kota, karena lokasi penimbunan sampah di luar kota hendak ditutup oleh masyarakat. Bagaimana pula dengan Kota Jakata, sampahnya dibuang di TPA Bantar Gebang dimana TPA ini berada di wilayah lain. Maka bagi pemerintah-pemrintah kota yang seperti itu, perlu menjalin kerjasama dengan pemerintah daerah lainnya untuk menampung sampah yang dihasilkannya, tentu saja ini harus ada kompensasi atas hal tersebut. Secara umum dapat dihitung bahwa masyarakat kota menghasilkan sampah kurang lebih 0,6 kilogram / hari. Kondisi ini sangat mempengaruhi kebutuhan lahan sebagai tempat pembuangan.
Perlakuan sampah di negara kita Indonesia sebagian besar masih mencampuradukan antara sampah organik dengan sampah non organik, penanganan sampah yang demikian akan semakin sulit dilakukan. Lain halnya apabila perlakuan sampah sudah dipilah-pilah antara sampah organik dan sampah an organik. Sampah organik dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan pupuk kompos, sementara sampah an organik masih memungkinkan untuk didaur-ulang akan didaur-ulang. Sementara itu, tehnologi yang diperlukan untuk mendaur-ulang memerlukan biaya yang cukup mahal. Untuk membakar sampahpun memerlukan bahan bakar yang cukup untuk itu, belum lagi polusi yang dikeluarkan olehnya.
Fasilitas dasar lainnya yang cukup penting adalah ketersediaan air bersih. Tidak dapat dipungkiri bahwa pada kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah sulit memperoleh akses air bersih. Mereka harus mengeluarkan biaya ekstra untuk membeli air bersih yang harganya bisa dua kali lipat dari harga air PDAM.
Manajemen Lingkungan
Ada sebuah hal yang menarik, bahwa mulai ada kesadaran atau tumbuhnya kesadaran masyarakat akan arti pentingnya lingkungan. Apabila dikaitkan dengan pendapat Bartone, nampaknya ada hubungan positif antara tingkat pendapatan dengan kesadaran terhadap lingkungan. Apalagi pada jaman sekarang masalah lingkungan sudah menjadi isu global yang memerlukan perhatian serius dari semua pihak. Kelompok-kelompok pemerhati lingkungan mulai bermunculan dan tumbuh subur, seiring dengan isu lingkungan itu sendiri.
Pemerintah kita selaku penyelenggara pemerintahan telah mengeluarkan beberapa peraturan tentang lingkungan, namun pelaksanaannya di lapangan masih ditemui beberapa kendala, antara lain belum tegasnya peraturan lingkungan ditegakkan, dan penerapannya tidak tegas serta konsekuen pada hukum. Sebenarnya ada kebijakan pemerintah yang dapat digunakan untuk mengatur dan mengendalikan masalah lingkungan, baik secara langsung maupun yang tidak langsung. Instrumen-instrumen penting yang dapat dipergunakan dalam manajemen lingkungan perkotaan antara lain adalah i) kebijakan fiskal, ii) perencanaan, iii) analisis dampak lingkungan, iv) monitoring, v) pendidikan dan latihan, dan vi) koordinasi.
Kebijakan fiskal yang dapat membantu pemecahan masalah lingkungan, dilaksanakan dengan motif insentif dan disinsentif terhadap penyelenggaraan pembangunan dan atau pemanfaatan sumberdaya alam yang akan mempengaruhi kondisi lingkungan. Perencanaan yang dimaksud adalah perencanaan tentang pemanfaatan ruang, yang mengatur ruang budidaya dan ruang konservasi serta penetapan standar-standar mutu lingkungan. Selanjutnya analisis dampak lingkungan harus betul-betul dihasilkan dari analisis yang sesuai dengan kondisi yang ada, sehingga penanganan dan antisipasi terhadap dampak dapat dikerjakan dan dilaksanakan. Instrumen monitoring tidak dapat dilakukan dengan baik apabila sumberdaya manusia yang akan melaksanakannya tidak mempunyai pengetahui dan kompetensi yang cukup tentang masalah lingkungan, ditambah lagi dengan sulitnya koordinasi dilakukan, karena masalah lingkungan merupakan masalah yang multi sektoral.
Membicarakan masalah lingkungan tidak hanya merumuskan kebijakan-kebijakan semata, namun kepedulian dan kesadaran akan arti pentingnya menjaga kondisi lingkungan merupakan kunci utama yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Kenyataan sering kali berbicara lain, desakan ekonomi menjadi faktor yang ikut mempengaruhi terjadinya degradasi lingkungan.
Sumber bacaan :
1. Nurmadi Achmad, 1999, “Manajemen Perkotaan”, Lingkaran Bangsa.
Senin, Februari 02, 2009
Hujan Datang Lagi
Itu baru berbicara tentang demam berdarah, masalah lain yang sering timbul adalah banjir. Nah .. untuk yang satu ini mempunyai kaitan dengan banyak hal. Pertama mulai dari kebersihan kedua drainase lingkungan, ketiga dimensi drainase kota, keempat tataguna lahan, kelima penegakkan peraturan tata ruang dan keenam yang paling penting tataguna hijau kota. Ada juga hal lain, yang ikut berperan dengan terjadinya banjir, khususnya untuk wilayah yang berada do pesisir pantai, naiknya muka air laut akibat pasang (atau karena adanya efek pemanasan global....).
Sejalan dengan berjalannya waktu, bahwa manusia membutuhkan tempat untuk berteduh dan berlindung dari gangguan cuaca, sehingga manusia membutuhkan rumah sebagai tempat berlindung, selain sebagai tempat untuk tumbuh dan berkembang (sesuai kodratnya). Semakin bertambahnya manusia mau tidak mau kebutuhan akan rumah semakin meningkat. Meningkatnya kebutuhan rumah ini pula akan mendorong luas tanah yang dibutuhkan akan semakin meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan lahan ini, pasti akan mengurangi lahan lainnya seperti lahan pertanian, lahan tegalan atau lahan lainnya. Sebenarnya kalau mau diceritakan akan panjang sekali.
Tetapi singkat kata, perubahan peruntukkan lahan tanpa memperhatikan keseimbangan alam akan menimbulkan ketidakseimbangan lainnya (hukum alam). Daerah serapan air semakin berkurang karena permukaan tanah telah ditutupi dengan beton dan aspal (koef. resapan berkurang). Air mengalir tanpa bisa dikurangi, akhirnya terjadilah banjir (kok sederhana banget yah..). Hal ini belum lagi adanya tumpukkan sampah di saluran drainase, perilaku yang buruk dari masyarakat dalam memperlakukan sungai.........
Banyak lagi yang bisa disampaikan disini, tapi singkat kata kita harus berlaku adil terhadap alam yang kita tinggali, karena dengan begitu alam juga akan bersahabat dengan kita. Maaf apabila bahasa yang disampaikan kurang ilmiah, ini memang disengaja karena ini sentilan bagi kita semua untuk peduli dengan alam sekitar kita. Tidak perlu panjang lebar lagi, karena dengan aksi nyata semua bencana dapat kita minimalisir ... insya allah.
Kotaku yang Penuh Warna
Masalahnya sekarang bukan pada ukurannya, tetapi dampak yang ditimbulkannya. Pernah sekali waktu saya dapatkan adanya kecelakaan di perempatan dekat rumah karena si pengendara sepeda motor tidak dapat melihat kendaraan yang ada di depan karena tertutupi baliho seorang caleg. Sekarang siapa yang harus disalahkan. Bukannya mau cari kambing hitam, tetapi seharusnya penempatan-penempatan baliho itu memperhatikan pengguna jalan dan masyarakat yang ada di sekitarnya.
Terus teras saja, dengan maraknya spanduk, baliho dan foto-foto caleg yang terpampang seantero kota, menurut saya malah merusak keindahan kota. Kenapa begitu, karena foto, spanduk dan baliho-baliho ditempatkan disembarang tempat, mulai dari pohon, tiang listrik, tiang telepon, pagar, tembok-tembok bangunan, taman kota dan lain-lainnya. Tempat-tempat yang seperti itu seharusnya tidak dikotori dengan hal-hal seperti itu. Tapi mau apalagi, cara paling mudah untuk memasang foto, spanduk, baliho dan sejenisnya yang paling mudah adalah menggunakan fasilitas yang sudah ada, sehingga bisa mengurangi biaya.
Nah, bicara biaya ada satu pertanyaan, apakah spanduk, foto dan baliho itu bayar pajak nggak. Kalau spanduk, dan baliho yang sifatnya komersil ataupun yang tidak pasti diwajibkan memyara pajak/retribusi yang telah ditetapkan oleh pemerintah setempat. Nah, bagaimana dengan yang ini.....???