Selasa, April 20, 2010

Sulitnya Membangun Komitmen

Sempat pada suatu hari saya berkelakar dengan teman saya, waktu itu kami sedang membicarakan tentang suatu hal, saya lupa topik pembicaraannya. Tapi saya ingat akan satu hal dari pembicaraan itu, teman saya tadi mengungkapkan bahwa kita ini komitmen untuk tidak melaksanakan komitmen itu sendiri, ..... hah apa maksudnya ini. Saya jadi bingung dengan apa yang dia maksud. Saya bertanya lebih jauh kepada teman ini. Jawaban yang diberikan menurut saya sangat mengejutkan. Banyak aturan yang sudah ditetapkan, dan aturan ini kalau mau dipikir dibuat berdasarkan kesepakatan bersama. Tapi coba anda lihat pada prakteknya banyak hal yang tidak sejalan dengan aturan tadi. Hmm menarik juga apa yang disampaikan teman tadi.



Saya jadi teringat, kebetulan saya memang punya minat soal perkotaan, jadi hal ini saya kaitkan dengan hal itu. Kembali lagi ke persoalan trotoar yang pernah saya tulis terdahulu. Ia menjadi salahsatu bagian dari kelengkapan kota. Menjadi bagian bagi pejalan kaki, karena untuk kendaraan baik yang bermotor atau yang tidak sudah jelas tempatnya, yakni jalan. Permasalahan sekarang untuk wilayah perkotaan adalah lahan, perebutan peruntukan dan pemanfaatan, dan lainnya. Kalau kita mau bicara lebih lanjut, sebenarnya sudah ada aturan-aturan yang bisa ditindaklanjuti an ditegakkan dengan benar, namun pada kenyataannya ???

Pernah saya jalan sebuah negara, saya terus terang iri dengan kondisi yang ada dengan melihat kondisi di negara tersebut. Pemerintahnya benar-benar memperhatikan kebutuhan warganya, karena saat sekarang saya berbicara tentang trotoar, maka akan saya kaitkan dengan hal ini. Di Indonesia, trotoar atau pedestrian disiapkan ala kadarnya (kalau menurut saya), jauh dari aspek kenyamanan dan keamanan. Bagaimana tidak, trotoar berada persis ditepi jalan, tidak ada pengamanan tersendiri bagi pejalan kaki, terlebih dengan perilaku pengguna jalan lainnya yang kurang memperhatikan keselamatan orang lain. Karena banyak kasus (mungkin kekurang-hatihatian) kendaraan menerobos trotoar, sehingga menimbulkan kecelakaan.

Belum lagi dengan perebutan penggunaannya. Di kota saya tinggal, trotoar menjadi perebutan pedagang kakilima, penanaman tanaman penghijauan jalan, penempatan tempat sampah, tempat parkir motor dan kendaraan, tempat etalase barang dagangan dan masih banyak lagi. Sementara kalau mau dilihat, sudah ada pengaturan tentang pemanfaatan trotoar. Tapi kenyataan...????

Jika dibandingkan dengan negara yang pernah saya kunjungi. Saya sempat terkagum-kagum dengan hal itu, trotoar atau pedestrian dibuat sedemikian rupa, aspek kenyamanan sangat diperhatikan, aspek keselamatan juga diperhatikan. Bagaimana penempatannya, pengaturannya dan penegakkan aturannya yang menurut saya itu hal yang paling penting. Penerapan aturan diikuti dengan penegakkan yang tegas oleh aparatnya, membuat pemanfaat fasilitas ini berjalan sesuai dengan tujuannya.

Jadi saya pikir, kata teman saya tadi ada benarnya. Kita terbiasa berwacana namun untuk menjalankannya masih abu-abu. Mohon maaf apabila tulisan ini sedikit mengkritisi kondisi yang ada, bukan maksud hati menghujat, tetapi lebih banyak dimaksudkan untuk membuka hati, perubahan tidak akan ada apabila kita sendiri tidak mau melakukan perubahan, tentunya kearah yang lebih baik. Wassalam.

1 komentar:

SYAIFUL MAHSAN mengatakan...

Saya salut PAk.
Sebuah kota yang damai dan nyaman bila memiliki kepedulian yang tinggi terhadap masyarakatnya. minimal menyediakan fasilitas standar untuk keamanan penghuninya.
Tetapi Trotoar di Indonesia (termasuk kota kita) masih belum bernilai guna) hanya sebatas prasyarat tata kota saja.

Peraturan Pemerintah No 43 Tahun 1993 yang merupakan perincian dari UU No 14 Tahun 1992 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Pada pasal ke 39 pada ayat yang kedua, mempertegas bahwa fasilitas pengguna jalan (peralan kaki)adalah trotoar dan tempat penyebrangan.
Berarti trotoar adalah hak pejalan yang disediakan oleh pengelola kota. bukan untuk pedagang kaki lima, pangkalan ojek, warung bahkan menjadi tempat parkir.
hehe maaf pak hanya sekedar turut berempati.
(syaiful Mahsan, DDI Lilbanat)